*FAIDAH
MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN*

Oleh : Misbahudin

 

Mana’ Al-Qathan dalam kitabnya “mabahis fi ‘ulumul
qur’an” mengungkapkan beberapa faidah atau keuntungan dari kita mempelajari dan
memahami ilmu  asbabunuzul Al-Qur’an,
yaitu :

 

Pertama, menjelaskan
hikmah  dari pensyariatan sebuah hukum
dan mengetahui bagaimana Allah benar-benar begitu perhatian terhadap kebutuhan
dan kemaslahatan umat secara umum dalam menghadapi segela problematika dan
peristiwa yang terjadi di depan mata. Hal ini menjadi sebuah rahmat bagi umat
manusia.

 

Kedua, bagi orang yang berpendapat bahwa yang
menjadi pegangan dalam memahami Al-Qur’an itu adalah sebab turun (asbabunuzul )
yang khusus dan spesifik bukan lafadz yang umum dalam redaksi Al-Qur’an. Maka
mengetahui asbabunuzul memberikan sebuah pemahaman akan pembatasan hukum secara
khusus dengan sebab yang terjadi. Dan hal ini merupakan sebuah permasalahan ikhtilaf
antara ‘ulama.

 

Sebagaimana halnya firman Allah ta’ala dalam
surat Ali-Imran ayat 188. Membaca ayat ini Marwan merasa resah, gundah gulana, karena
isi dari ayat ini begitu mengerikan jika ditafakuri dan direnungi.

 

لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اَتَوْا
وَّيُحِبُّوْنَ اَنْ يُّحْمَدُوْا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوْا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ
بِمَفَازَةٍ مِّنَ الْعَذَابِۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

 

“Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas
perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa
mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih”.

 

Karena kegelisahan dan kegundahan inilah Marwan  menyuruh kepada securitinya, _“Pergilah
wahari Rafi kepada Ibnu Abbas, dan tanyakanlah, Jikalau  setiap orang dari kita merasa bahagia dengan
apa yang telah dia lakukan  dan dia
merasa senang jika dipuji  dengan apa
yang belum dikerjakan akan disiksa, maka sungguh kita semua akan disiksa?”_

 

Maka Ibnu Abbas pun menjawab, _”Mengapa
pendapatmu seperti itu mengenai ayat ini?”_,
sungguh ayat ini turun
kepada ahli kitab
.  kemudian dia
mengucapkan firman Allah ta’ala (QS. Ali-Imran :187)

 

اِذْ اَخَذَ اللّٰهُ مِيْثَاقَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا
الْكِتٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهٗ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُوْنَهٗۖ فَنَبَذُوْهُ
وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗ فَبِئْسَ مَا
يَشْتَرُوْنَ

 

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji
dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu
menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan (janji itu) ke belakang punggung
mereka dan menjualnya dengan harga murah. Maka itu seburuk-buruk jual-beli yang
mereka lakukan”.

 

 

Ibnu Abbas melanjutkan pemaparannya dengan
mengetengahkan sebuah cerita dimana Rasulullah bertanya kepada mereka tentang
suatu hal, maka mereka menyembunyikan masalah tersebut dari Nabi  dengan cara mereka  mengalihkan pembicaraan kepada persoalan
lain,  dengan ini, mereka hendak
menunjukan  dan memberika sebuah asumsi
bahwa sesungguhnya mereka telah memberitahukan apa  ayang ditanyakan kepada mereka, dan mereka
ingin sekali dipuji  oleh Nabi mengenai
hal tersebut. Mereka begitu amat gembira dengan apa yang mereka telah kerjakan
yaitu menyembunyikan  apa yang telah
ditanyakan oleh Rasulullah.

 

Ketiga, jika redaksi ayat Al-Qur’an itu umum, tetapi
ada dalil lain dari hadits atau pernyataan sahabat yang ahli dalam bidang
tafsir yang mengkhususkan hal tersebut, maka kekhususan itu tidak dapat
dipisahkan dari ayat Al-Qur’an tersebut. 
Karena terikatnya dalil pengkususan atas ayat Al-Qur’an ini adalah
merupakan sebuah kepastian (Qath’i), seperti dua sisi mata uang. maka pengkhususan
tersebut tidak bisa dilepaskan dari ayat tersebut dengan sebuah asumsi ijtihad
belaka yang bersifat dhanni (spekulasi). Dan ini lah yang menjadi
pegangan jumhur ‘ulama.

 

Contohnya adalah dalam surat An-Nur 23-25.

 

اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ
الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ
ۙ
. يَّوْمَ
تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا
يَعْمَلُوْنَ
. يَوْمَىِٕذٍ
يُّوَفِّيْهِمُ اللّٰهُ دِيْنَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّ اللّٰهَ هُوَ
الْحَقُّ الْمُبِيْنُ

 

 

“Sungguh, orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina),
mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang
besar. pada hari, (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas
mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.
Pada hari itu Allah menyempurnakan balasan
yang sebenarnya bagi mereka, dan mereka tahu bahwa Allah Maha-benar, Maha
Menjelaskan”.

 

Ayat ini turun menganai ‘Aisyah secara khusus
atau  Aisyah dan istri-istri Rasulullah yang
lain. Sebagaimana komentar Ibnu Abbas berkaitan dengan ayat diatas. Allah tidak
akan menerima taubat orang yang melakuan tuduhan keji tersebut bagi siapa yang
melakukannya, dan Allah akan menerima taubat bagi para orang yang menuduh zina kepada
wanita-wanita Muslimah yang lain. 
Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat  qur’an surat An-Nur 4-5

 

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوْا بِاَرْبَعَةِ شُهَدَاۤءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمٰنِيْنَ جَلْدَةً وَّلَا
تَقْبَلُوْا لَهُمْ شَهَادَةً اَبَدًاۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ ۙ
.
اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا مِنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ
وَاَصْلَحُوْاۚ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

 

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan
yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik,
kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan
memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.

 

Atas dasar ini lah, maka peneriman taubat
bagi orang-orang yang menuduh zina (sebagaimana yang dinyatakan dalam surat nur
4-5), sekalipun adalah sebagai pengkhususan 
dari keumuman redaksi  surat Nur
ayat 23.  Hal ini tidak  mencakup pengkhusuan  atas orang yang menuduh zina kepada Aisyah
atau kepada istri-istri nabi yang lain, karena baginya tidak ada tobat yang
akan Allah terima, karena keterikatan sebab yang khusus  (orang yang menuduh zina Asiyah dan
istri-istri Rasul yang lain) dengan  
lafadz yang umum itu bersifat qathi.

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh
mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh
Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *