*FAIDAH
MENGETAHUI ASBABUNUZUL AL-QUR’AN-2*

Oleh :
Misbahudin

 

 

Tanpa mengenal
dan memahami _asbabunuzul_ atau kronolis suatu ayat turun, Maka bisa
jadi suatu ayat bisa dipelintir atau “diolah” sedemikian rupa agar ayat tersebut
bisa mendukung argument dan pendapatnya. Maka disini, ayat Al-Qur’an mengalami “ekploitasi”
dan “pemerkosaan” terhadap kesakralan Al-Qur’an.

 

Al-Qur’an tidak dijadikan sebagai landasan
dalil untuk beramal, sebagaimana dari
tujuannya diturunkan kepada manusia.  Tapi
sebaliknya, ayat Al-Qur’an tersebut dijadikan untuk “mendalili” amal perbuatan
yang  lahir dorongan keinginan hati dan
ambisi hawa nafsu semata. Hal ini dilakukan agar mendapatkan sebuah “pembenaran”
dari Al-Qur’an.  

 

Peristiwa ini pernah terjadi ketika Muawiyyah
ingin menjadikan anaknya Yazid sebagai penerus kepemimpinannya, sebagaimana
yang akan dipaparkan dalam point keempat dari manfaat mengetahui asbabuzunul.

 

 

Keempat, Asbabunuzul
dapat menjelaskan secara spesifik  kepada
siapa ayat itu ditujukan dan diturunkan, sehingga hal ini menjadi sebuah
Langkah prefentif agar tidak ada pemelintiran dalil atas dorongan ambisi diri
dan ambisi politik dalam menyerang musuh dan lawan politiknya. Hal ini pernah
terjadi ketika Muawiyyah hendak menjadikan anaknya Yazid sebagai penerusnya
sebagai khalifah, Maka Yazid menyuruh gubernur Mekah pada saat ini yang ada
dibawah kekuasaannya yaitu Marwan untuk mengumpulkan orang-orang dan mengajak
mereka untuk berbaiat kepada yazid.

 

Maka Abdurahman ibnu Abu Bakar enggan untuk berbai’at,
Maka Marwan naik pitam dan hendak berbuat jahat kepada Abdurahman, jika dia
tidak masuk ke rumah Aisyah untuk meminta perlindungan dari niat Jahatnya. Marwan
pun sekonyong-konyong memcakan ayat Al-Qur’a
n

 

وَالَّذِيْ
قَالَ لِوَالِدَيْهِ اُفٍّ لَّكُمَآ اَتَعِدَانِنِيْٓ اَنْ اُخْرَجَ وَقَدْ
خَلَتِ الْقُرُوْنُ مِنْ قَبْلِيْۚ وَهُمَا يَسْتَغِيْثٰنِ اللّٰهَ وَيْلَكَ
اٰمِنْ ۖاِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّۚ فَيَقُوْلُ مَا هٰذَآ اِلَّآ اَسَاطِيْرُ
الْاَوَّلِيْنَ

 

“Dan
orang yang berkata kepada kedua orang tuanya, “Ah.” Apakah kamu berdua
memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal
beberapa umat sebelumku telah berlalu? Lalu kedua orang tuanya itu memohon
pertolongan kepada Allah (seraya berkata), “Celaka kamu, berimanlah!
Sesungguhnya janji Allah itu benar.” Lalu dia (anak itu) berkata, “Ini hanyalah
dongeng orang-orang dahulu”.
 (QS. Al-Ahqaf:17).

 

Ayat ini kata Marwan Turun kepada  orang ini,  Abdurahman yang enggan untuk berba’ait kepada
Yazid, Maka Aisyah membantah Statement dari  Marwan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam
hadits  yang diriwayatkan imam Bukhari

 

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ قَالَكَانَ مَرْوَانُ
عَلَى الْحِجَازِ اسْتَعْمَلَهُ مُعَاوِيَةُ فَخَطَبَ فَجَعَلَ يَذْكُرُ يَزِيدَ
بْنَ مُعَاوِيَةَ لِكَيْ يُبَايَعَ لَهُ بَعْدَ أَبِيهِ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ شَيْئًا فَقَالَ خُذُوهُ فَدَخَلَ بَيْتَ عَائِشَةَ
فَلَمْ يَقْدِرُوا فَقَالَ مَرْوَانُ إِنَّ هَذَا الَّذِي أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ
} وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي
{فَقَالَتْ عَائِشَةُ مِنْ
وَرَاءِ الْحِجَابِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِينَا شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا
أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ عُذْرِي

 

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail Telah
menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Abu Bisyr
dari Yusuf bin Mahik dia berkata; Mu’awiyah
mengangkat Marwan untuk pemimpin di Hijaz. Lalu Marwan menyebut-nyebut kebaikan
Yazid bin Mu’wiyah agar ia dibai’at setelah bapaknya. Kemudian Abdurrahman bin
Abu Bakr berkata sesuatu kepadanya yang membuat ia marah. Maka Marwan berkata;
Tangkaplah ia. Abdurrahman pun masuk ke rumah Aisyah hingga mereka tidak mampu
menangkapnya. Marwan
berkata;
Rumah ini adalah rumah yang di dalamnya Allah menurunkan ayat: Dan orang yang
berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah
kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal
sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?, (Al Ahqaf: 17). Maka
Aisyah pun berkata
dibalik tabir; Allah tidak menurunkan sesuatu pun dari Al Qur’an kepada kami,
kecuali Dia hanya menurunkan tentang udzurku (pembebasanku) mengenai berita
bohong. (HR. Bukhari : 4453).

 

Dalam Riwayat yang lain
dikatakan, bahwa sesungguhnya Marwan meminta agar masyarakat Mekah untuk
berba’iat kepada Yazid sebagai penerus khalifah yang sebelumnya, tiada lain
tiada bukan adalah bapaknya, yaitu Muawwiyah.
Marwan mengatakan bahwa ini
adalah sebuah tradisi Abu Bakar dan Umar. Maka Abdurahman menimpalnya dengan
mengatakan,”tidak!, itu adalah tradisi Heraklius dan Kaisar. Maka Marwan
berkata, “Sesungguhnya Allah  berfirman,
dan sungguh orang yang mengatakan “Ahh” kepada orang tuanya ……….(sampai akhir
ayat)”. Maka hal ini sampai kepada Aisyah, sehingga Asiyah pun berkata,
“sungguh telah berdusta Marwan, Maksud ayat tersebut tidaklah demikian, jikalau
aku hendak menyebutkan tentang siapa ayat ini turun, sungguh aku akan
menyebutkannya”.

 

 

Kelima, Mengetahui asbabunuzul Al-Qur’an adalah
metode yang terbaik untuk memahami dan menghayati secara mendalam Al-Qur’an.
Menyingkap tabir kesamaran maksud sebenarnya dalam sebuah redaksi suatu ayat  yang tidak dapat dijelaskan tafsirannya
selama tidak mengetahui asbabunuzulnya.

 

Al-Wahidi berkata, _*”Tidak mungkin
memahami  tafsir ayat  tanpa memahami  bagaimana 
kronologisnya dan  bagaimana ayat
tersebut turun”*_.  Berkata juga Ibnu
Dakikil ‘Idh, _*”Penjelasan asbabunzul Al-Qur’an  adalah metode yang terbaik untuk memahami
lebih dalam ayat Al-Qur’an”*_.

 

Ibnu Taimiyyah juga tidak ketinggalan
memberikan sebuah afirmasi terkait urgensi dari memahami asbabunuzul, menurut
beliau _*“mengatahui asbabunuzul 
membantu untuk memahami ayat . karena ilmu pengetahuan tentang sebab
akan melahirkan akan pengetahuan tentang musabab (akibat)”*_.

 

Contohnya 
kebingungan  Marwan Bin Hakam  dalam memhami surat Ali -Imran ayat 188.  Dia baru benar-benar “ngeh” maksudnya setelah
Ibnu Abbas menjelaskan maksud dari ayat tersebut.

 

Contoh yang lain dalam surat Al-Baqarah ayat
158

 

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ
فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ
بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

 

“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan
sebagian syi‘ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa‘i antara keduanya. Dan
barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha
Mensyukuri, Maha Mengetahui”.

 

 

Secara dhohir teks ayat tersebut memberikan
sebuah gambaran bahwa sesungguhnya  Sa’i
itu tidaklah wajib,  karena terdapat
sebuah kalimat dalam ayat tersebut  “la
junaha”
alias tidak berdosa, maka kata ini seolah memberikan konsekuensi
logis sa’i itu mubah tidak wajib. Dan Sebagian ulama juga perpendapat seperti
ini, karena  berpegang kepada kontek
kalimatnya.  Seperti  ibnu Abbas, Ibnu Zubai dan Anas Bin Malik.

 

Sungguh Aisyah telah melurukan pendapat
‘Urwah bin Zubair dengan menyampaikan sebab kronologis dari turunnya ayat
tersebut agar tidak keliru dalam memahami ayat tersebut.  Sesungguhnya para sahabat merasa berat hati,
takut tejatuh dalam jurang dosa  jika mereka
harus melakukan sa’I  antara safa dan
marwah, karena ini adalah tradisi kaum jahiliyyah, dimana ada berhala yang
bernama  “Asaf” dan di Marwan ada berhala
“Nailah”.

 

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ
الزُّهْرِيِّ قَالَ عُرْوَةُ سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقُلْتُ
لَهَا أَرَأَيْتِ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى
} إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ
أَوْ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
{ فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يَطُوفَ بِالصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ بِئْسَ مَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّ هَذِهِ لَوْ
كَانَتْ كَمَا أَوَّلْتَهَا عَلَيْهِ كَانَتْ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا
يَتَطَوَّفَ بِهِمَا وَلَكِنَّهَا أُنْزِلَتْ فِي الْأَنْصَارِ كَانُوا قَبْلَ
أَنْ يُسْلِمُوا يُهِلُّونَ لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ الَّتِي كَانُوا
يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ الْمُشَلَّلِ فَكَانَ مَنْ أَهَلَّ يَتَحَرَّجُ أَنْ
يَطُوفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَلَمَّا أَسْلَمُوا سَأَلُوا رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنَّا كُنَّا نَتَحَرَّجُ أَنْ نَطُوفَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَأَنْزَلَ
اللَّهُ تَعَالَى
} إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
{ الْآيَةَ قَالَتْ
عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَقَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَتْرُكَ
الطَّوَافَ بَيْنَهُمَا ثُمَّ أَخْبَرْتُ أَبَا بَكْرِ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
فَقَالَ إِنَّ هَذَا لَعِلْمٌ مَا كُنْتُ سَمِعْتُهُ وَلَقَدْ سَمِعْتُ رِجَالًا
مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَذْكُرُونَ أَنَّ النَّاسَ إِلَّا مَنْ ذَكَرَتْ عَائِشَةُ
مِمَّنْ كَانَ يُهِلُّ بِمَنَاةَ كَانُوا يَطُوفُونَ كُلُّهُمْ بِالصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ فَلَمَّا ذَكَرَ اللَّهُ تَعَالَى الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ وَلَمْ
يَذْكُرْ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ فِي الْقُرْآنِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ
كُنَّا نَطُوفُ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَإِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الطَّوَافَ
بِالْبَيْتِ فَلَمْ يَذْكُرْ الصَّفَا فَهَلْ عَلَيْنَا مِنْ حَرَجٍ أَنْ
نَطَّوَّفَ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
} إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ
شَعَائِرِ اللَّهِ
{ الْآيَةَ قَالَ أَبُو
بَكْرٍ فَأَسْمَعُ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِي الْفَرِيقَيْنِ كِلَيْهِمَا فِي
الَّذِينَ كَانُوا يَتَحَرَّجُونَ أَنْ يَطُوفُوا بِالْجَاهِلِيَّةِ بِالصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ وَالَّذِينَ يَطُوفُونَ ثُمَّ تَحَرَّجُوا أَنْ يَطُوفُوا بِهِمَا
فِي الْإِسْلَامِ مِنْ أَجْلِ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَمَرَ بِالطَّوَافِ
بِالْبَيْتِ وَلَمْ يَذْكُرْ الصَّفَا حَتَّى ذَكَرَ ذَلِكَ بَعْدَ مَا ذَكَرَ
الطَّوَافَ بِالْبَيْتِ

 

“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah
mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy, berkata, ‘Urwah: Aku bertanya
kepada ‘Aisyah radliallahu ‘anha, kataku kepadanya:
“Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah Ta’ala (QS Al Baqarah 158) yang
artinya: (“Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian dari
syi’ar-syi’ar Allah, maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber’umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’iy antara
keduanya”), dan demi Allah tidak ada dosa bagi seseorang untuk tidak ber
thawaf (sa’iy) antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah”. ‘Aisyah radliallahu
‘anha berkata: “Buruk sekali apa yang kamu katakan itu wahai putra saudariku.
Sesungguhnya ayat ini bila tafsirannya menurut pendapatmu tadi berarti tidak
berdosa bila ada orang yang tidak melaksanakan sa’iy antara keduanya. Akan
tetapi ayat ini turun berkenaan dengan Kaum Anshar, yang ketika mereka belum
masuk Islam, mereka berniat hajji untuk patung Manat Sang Thoghut yang mereka
sembah di daerah Al Musyallal. Waktu itu, barangsiapa yang berniat hajji, dia
merasa berdosa bila harus sa’iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah (karena
demi menghormatii patung mereka itu). Setelah mereka masuk Islam, mereka
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam tentang masalah itu,
mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami merasa berdosa bila melaksanakan
sa’iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah”. Maka kemudian Allah Ta’ala
menurunkan ayat (“Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian
dari syi’ar-syi’ar Allah”). ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata:
“Sungguh Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam telah mencontohkan sa’iy
antara kedua bukit tersebut dan tidak boleh seorangpun untuk meninggalkannya”.
Kemudian aku kabarkan hal ini kepada Abu Bakar bin ‘Abdurrahman, maka katanya:
“Sungguh ini suatu ilmu yang aku belum pernah mendengar sebelumnya,
padahal aku sudah mendengar dari orang-orang ahli ilmu yang menyebutkan bahwa
diantara manusia, selain orang-orang yang diterangkan oleh ‘Aisyah radliallahu
‘anha itu, ada yang dahulu melaksanakan ihram untuk Manat, mereka juga
melaksanakan sa’iy antara bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah. Ketika Allah
menyebutkan thawaf di Ka’bah Baitullah tapi tidak menyebut sa’iy antara bukit
Ash-Shafaa dan Al Marwah dalam Al Qur’an, mereka bertanya kepada: “Wahai
Rasulullah, dahulu kami melaksanakan thawaf (sa’iy) antara bukit Ash-Shafaa dan
Al Marwah dan Allah telah menurunkan ayat tentang thawaf di Ka’bah Baitullah
tanpa menyebut Ash-Shafaa, apakah berdosa bagi kami bila kami sa’iy antara
bukit Ash-Shafaa dan Al Marwah?”. Maka Allah Ta’ala menurunkan ayat
(“Sesungguhnya Ash-Shafaa dan Al Marwah adalah sebahagian dari syi’ar
Allah”). Abu Bakar bin ‘Abdurrahman berkata: “Maka aku mendengar
bahwa ayat ini turun untuk dua golongan orang yaitu golongan orang-orang yang
merasa berdosa karena pernah melaksanakan sa’i antara bukit Ash-Shafaa dan Al
Marwah saat mereka masih jahiliyyah (karena pernah melaksanakan untuk patung Manat),
dan golongan orang-orang yang pernah melaksanakannya namun merasa berdosa bila
melaksanakannya kembali setelah masuk Islam karena Allah pada mulanya hanya
menyebutkan thawaf di Ka’bah Baitullah dan tidak menyebut Ash-Shafaa hingga
kemudian Dia menyebutkannya setelah memerintahkan thawaf di Ka’bah
Baitullah”.
(HR. Bukhari 1534).

 

 

Reverensi

1.     Mabahis fil ‘ulumul Qur’an li syaikh
mana’il qathan

2.     At-Tibyan fi ‘ulumul Qur’an li Syaikh
Ali Ash-Shobuni

3.     Dan lain-lain

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *