AL-QUR’AN
DAN TANTANG ZAMAN

Oleh :
Misbahudin

 

 

Konsep Islam Yang Syamil Dan Mutakamil

 

Islam adalah agama yang Allah turunkan untuk
pedoman hidup manusia, sebagai tanda kasih sayangnya, tidak membiarkan manusia
berjalan hidup begitu saja, hanya mengandalkan fitrah keimanan kepadanya saja.
Tetapi Allah menurunkan Islam sebagai Agama yang sempurna, dan Allah memberikan
penegasan barang siapa yang agama selain Islam, Maka amal-amalannya tidak akan
diterima.

 

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah
Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali
setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa
yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat
perhitungan-Nya.” [Ali ‘Imran: 19].

 

Agama Islam 
berbeda dengan agama bumi (ardhi), yang mengandalkan penjelasahan akal
dan perenungan bathin akan hakikat kehidupan, tetapi Islam mempunyai sebuah
ajaran yang jelas bersumber dari wahyu ilahi yang menjadi sumber dan pondasi
dalam Bergama Islam yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah.

 

”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi,
Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

Allah pun menjamin Akan mengjaga dan
memelihara  Al-Qur’an dari perubahan dan
kerusakan, karena jika sumber suatu agama sudah mengalami perubahan, apalgi
dalam hal-hal pundamental, maka bisa dipastikan agama tersebut akan mengalami
sebuah penyimpangan dan akan menjauh dari apa yang sebenarnya Allah
perintahkan.

 

”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
adz-Dzikr (al-Qur’an), dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya”
[al-Hijr/15:9]

 

 

Oleh karena Islam adalah agama langit yang
Allah wahyukan ajaran-ajaranya secara bertahadap kepada manusia pilihanya,
yaitu nabi Muhammad, maka pasti memiliki sebuah konsep ajaran yang senantiasa
uptodate dalam setiap jaman, karena tidak mungkin Islam sebagai agama ilahi
mempunyai lingkup tempat dan waktu yang terbatas.

 

Maka Islam adalah sebuah ajaran yang syamil
mutakamil (sempurna dan menyeluruh). 
Kesempurnaan Islam akan senantiasa meliputi semua zaman, tempat,
dan  eksistensi umat manusia di bumi ini.
Ia mengatur mulai urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga urusan negara.
Islam juga mengatur masalah sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, keamanan,
pendidikan, bahkan masalah lingkungan. Sehingga menjadikan Islam menjadi sebuah
agama yang paripurna, tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi keluhuran dan
ketinggian ajarannya.

 

”Islam itu tinggi dan tidak ada yang
mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad-Daruquthni)

 

Syumuliyatul Islam mencakup tiga hal.
Pertama,  Syumuliyatul zaman
(kesempurnaan waktu), syumuliyatul minhaj (kesempurnaan pedoman hidup), dan
syumuliyatul makan(kesempurnaan tempat/ruang).

 

Pertama, syumuliyatul zaman.  Islam agama yang akan tetap relevan dengan
berbagai situasi dan kondisi. Dari berbagai lapirasan kultur, budaya dan priode
generas. Jika para nabi sebelum Islam hanya bersifat lokal dan waktu yang
terbatas. Tetapi Islam akan berlaku sampai akhir zaman.

 

”Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun
sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada
Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.
(QS. Al-Anbiya:25).

 

 

”Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara.
Kamu tidak akan sesat selama-lamanya berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim,
al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm)

 

Kedua, syumuliyatul minhaj.  Islam sebagai pedoman hidup dalam dimensi
aqidah sebagai asas kehidupan, alam semesta, manusia dan hal-hal yang bersifat
metafisik, tidak terkecuali  hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan  setelah
kematian datang, hal itu tidak akan bisa dicerna oleh akal yang terbatas,
kecuali dengan bimbingan wahyu.

 

“Islam dibangun di atas lima perkara:
bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan
zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan
Muslim) [HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16].

 

“Pada hari ini, telah Kusempurnakan agama
kalian untuk kalian, dan telah Kucukupkan Nikmat-Ku bagi kalian, dan telah
Kuridhai Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

 

Ketiga, syumuliyatul makan. Islam menjadi
sebuah “way Of life” untuk semua umat 
meliputi ras suku, Bahasa dan bangsa manapun  tanpa batas-batas geografis tertentu.

 

”Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS.
Al-Araf : 158).

 

 

 

Menghadapi tantangan, Menaklukan Zaman

 

Islam adalah agama dengan ajaran yang
sempurna yang memberikan sebuah landasan-landasan pokok di dalam Al-Qur’an dan
As-sunnah yang bisa menjadi petuntuk dan inspirasi untuk menundukan tantangan
dan kemajuan zaman.  Beberapa contoh yang
menggmabrkan kepada kita bahwa Rasulullah memberikan ruang gerak yang bebas dalam
Batasan-batasan tertentu untuk berijtihad, mencurrahkan segala kemampuan akal
untuk mencari sebuah solusi (problem solving) dari setiap permasalahan yang
ada.  Diantara petuntuk itu adalah

 

Pertama, kisah Mu’adz bin Jabal yang akan
memutuskan suatu hukum berdasarka ijtihadnya, jika tidak didapati secara
spesifik masalah tersebut di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.

 

Dari orang-orang Himsh murid, dari Mu’adz
bahwa Rasulullah saw. mengutusnya ke Yaman. Rasulullah saw. bertanya,
“Bagaimana caramu memberi keputusan, ketika ada permasalahan hukum?” Mu’adz
menjawab, “Aku akan memutuskan berdasar kitabullah.” Rasulullah bertanya, “.
”Jika engkau tak menemukan dasar dalam kitabullah?”,  Mu’adz berkata, “Aku akan menghukumi
berdasarkan sunnah Rasulullah saw.” Rasul berkata, “Jika kau tidak menemukan dalam
sunnah Rasul?”,  Mu’adz menjawab, “Aku
akan memutuskan berdasarkan pendapatku”, 
Rasulullah saw. menepuk-nepuk dada Mu’adz sambil berkata, “Segala puji
bagi Allah yang menuntun utusan Rasulullah kepada apa yang diridai Rasulullah”
(HR. Al-Baihaqi No. 3250)

 

Kedua, Sabda Rasulullah yang mengapresiasi
dengan dua pahala kebaikan bagi siapa yang berijtihad dengan benar, dan satu
pahala bagi yang berijtihad dengan salah.

 

Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar
Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang hakim hendak memutuskan hukum, lalu
berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan dua pahala. Jika ia hendak
memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata salah, ia dapat satu
pahala.” (HR. Muslim)

 

Dari keterangan-keterangan diatas, maka dapat
kita mengambil hikmah bahwa Al-Qur’an dan as-sunnah sudah menancapkan
landasan-landasan pokok yang bisa digali dengan ketajaman analisas akal dan
pemahana dalil-dalil Islam secara mendalam untuk mencari berbagai pemahaman,
produk hukum yang baru yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. 

 

Reformulasi Tafsir Al-Qur’an Untuk Menaklukan
Zaman

 

Jika kita membuka lembaran sejarah, maka kita
akan dapati dalam setiap generasi jaman senantiasa lahir kitab-kitab tafsir
dengan keunikan masing-masing. Tetapi ada sebuah pertanyaan yang menarik,
apakah  dengan senantiasa hadir
produk-produk tafsir “kontemporer” menandakan kekuarangan-kekurangan
produk-produk tafsir zaman klasik?. Karena jika toh sama tafsir untuk
menafsirkan Al-Qur’an kenapa harus ada yang tafsir baru?.

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini
cenderung  mengalami perkembangan. Hal ini
disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang
mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal
lagi perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah
melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka
ragam, mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun
bermacam-macam, ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan
masih banyak macam lainnya. Semuanya mengalami pembiasan sesuai dengan
pemikiran dan keilmuan masing-masing mufassir yang hidup pada zaman itu.

 

Marilah kita memami “phenoma” tersebut dari
perfektif fari dari dalam, tidak menilai hal itu dari penampakan dari luar
saja, Islam adalah agama yang syamil dan mutakamil maka disana kita akan
mendapat sebuah konsep  perkara-perkara
–“tsawabit”_ dalam Islam  dan  perkara-perkara yang _ “mutaghoyyirot”_.

 

Tsawabit (hal-hal baku yang bersifat tetap
dan permanen) adalah masalah-masalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam, dan
Mutaghayyirat (hal-hal non baku yang mungkin dan bisa dan berpotensi
berubah-ubah) adalah masalah-masalah furu’ (non prinsip) dari ajaran Islam.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang
berdalil qath’i (mutlak dan pasti), baik qath’iyyuts-tsubut (kehujjahannya
mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun
qath’iyyud-dilalah (makna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak
diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun Mutaghayyirat
adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil dzanni (tidak mutlak dan pasti,
serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah
(kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya.

 

Tsawabit adalah masalah-masalah ijma’ yang
telah menjadi konsensus yang disepakati di antara para imam berbagai madzhab
Ahlussunnah Waljama’ah, dan Mutaghayyirat adalah masalah-masalah ijtihadiyah
khilafiyah yang merupakan wilayah ijtihad para ulama, dan yang telah
diperselisihkan atau berpotensi untuk diperselisihkan di antara para imam
mujtahidin dari kalangan Ahlussunnah Waljama’ah.

 

Tafsir adalah sesuatu yang karya intelektual
bersifat uptodate,  karena tafsir lahir
stimulasi permasalahan, tantangan dan kemajuan zaman.  Otomatis penafsiran-penafsiran ulama tafsir
akan mengalami perubahan untuk hal-hal yang sifatnya tidak bersifat prinsip
aqidah, karena aqidah adalah sebuah perkara yang “take for granted”. Tetapi
reformulasi tafsir ini  berkaitan dengan
kontektualisasi Al-Qur’an terhdapap kemajuan zaman.

 

Karena Sebuah penafsiran tidak lahir dari
ruang yang kosong begitu saja, tapi selalu tridialektik antara teks, konteks
dan pengarang, Sekaligus masuk dalam dimensi sejarah, secara sinkronik  (bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi
dalam suatu masa yang terbatas)  atau
diakronik (berkaitan kronologis atau urutan).

 

Masalah-masalah  komtemporer tentu baik fiqhul ayat maupun
fiqhul hadis harus sesuai zamannya, situasi dan kondisi. Bahkan barbagai-bagai
hukum bisa berubah disebabkan perubahan zaman atau situasi dan kondisi  yang berbeda.

 

Kita ambil beberapa contoh kasus Al-Qur’an
yang melahirkan pemahaman tafsir yang berbeda, 
contoh dalam surat  Ar-rum ayat
41.  “Telah nampak kerusakan di darat dan
di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar).”

 

Dalam 
Tafsir Klasik kerusakan di laut diinterpretasikan dengan  pembajak laut. Berbeda dengan tafsir
kontemporer,  susunan Dr. Z. Najar Tafsir
Ayat al-Kauniyah,  ia memasukan  kerusakan dibumi itu adalah limbah industri,
pencemaran nuklir, sampah pabrik, dan lain sebagainya. Penafsiran Al-Qur’an
akan senantiasa uptodate karena Al-Qur’an menggunkan sebuah Bahasa yang umum
yang bisa menyesuaikan dengan kemajuan-kemajuan zaman.

 

 

Contoh lainya, dalam sebuah hadits  dari Abu Ali Tsumamah bin Syufayi bahwa dia
mendengar ‘Uqbah bin ‘Amir berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah
menyampaikan ketika beliau di atas mimbar:
‘(Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi)
‘ (QS. Al Anfaal: 60), ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah,
ketahuilah sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah, ketahuilah sesungguhnya
kekuatan itu adalah memanah.”

 

 

Maka kata “kekuatan”  adalah “rimayah”, kata rimayah secara Bahasa
adalah melempar, maka  “rimayah”  dalam kontek zaman itu adalah memanah, tetapi
jika dikontekstualisasikan untuk zaman modern ini, dimana kemajuan teknologi
sudah canggih, tidak terkecuali dalam masalah persenjataan, maka yang lebih
relevan untuk saat in, kata “rimayah” 
ditafsikan menjadi senjata-senjata canggih seperti layak pistol, drone
yang bisa menembaki musuh tanpa resiko korban pasukan atau persenjataan lainnya
yang muktakhir.  Intinya yang menjadi
ilatnya (Ratio Logic) “rimayah” disini adalah sesuatu senjata yang dapat
menggetarkan musuh dan senjata itu efektif dan efesien dalam kontek tantangan
dan kemajuan zaman.

 

Gerak Tafsir yang lincah Asalkan tetap On the
Track

 

Sejarah mencatat bahwa penafsiran selama ini
cenderung memuai, dalam artian selalu mengalami perkembangan. Hal ini
disebabkan oleh berbagai kondisi seperti munculnya ilmu pengetahuan baru yang
mengharuskan munculnya suatu penafsiran baru. Sehingga tidak dapat disangkal lagi
perkembangan tafsir semakin pesat dari waktu ke waktu, karena telah melalui
banyak periode sehingga sampai kepada corak dan bentuk yang beraneka ragam,
mulai zaman sahabat hingga zaman kontemporer saat ini.

 

Penafsiran yang dihasilkan pun bermacam-macam,
ada penafsiran dengan corak bi al-riwayah, bi al-ra’yi, dan masih banyak macam
lainnya.  Semuanya mengalami pembiasan
sesuai dengan pemikiran dan keilmuan masingmasing mufassir yang hidup pada
zaman itu. Tidak aneh jika kemudian muncul berbagai tafsir dengan corak yang
berbeda-beda di antara para mufassir. Mulai tafsir alfiqhy, tafsir al-shufiy,
tafsir adabi al-ijtima’i, tafsir alfalsafiy, tafsir madzhabi, dan tafsir  ilmy.

 

Menyadari bahwa isyarat ilmiah dalam
al-Qur‘an masih bersifat umum dan universal. 
Jika terjadi pertentangan antara dilalah nash yang pasti dengan teori
ilmiah, maka teori ini harus ditolak, karena nash adalah wahyu dari Allah yang
ilmunya mencakup segala sesuatu. Jika terjadi kesesuaian, maka nash merupakan
pedoman dan kebenaran teori tersebut. Dan jika nash-nya tidak pasti, sedangkan
hakikat alam pasti, maka nash tersebut harus ditakwilkan . Mufassir tafsir
‘ilmy tidak menjadikan penafsiran yang dikemukakannya sebagai ajaran aqidah
qur’aniyah (teologi) dan tidak bertentangan dengan prinsip atau ketentuan
kaidah kebahasaan.

 

Dalam memahami kata bahasa Arab hanya  mengenal 
dua pendekatan. Yaitu mantuq dan 
mafhum, mantuq diperoleh dari dzahir 
ayat atau haditt,  sementara
mafhum diperoleh dari tawil ayat atau hadits. Dalam kaidah pokok,  sebelum kita masuk ke tawil atau mafhum, maka
ada mantuq atau dzahirnya kita dahulukan.

 

Ketika dzahir tidak diperoleh makna yg sesuai
atau tak difahami, maka baru bergeser kepada opsi selanjutnya, yaitu  mafhum, 
dengan jalan mena’wil ayat atau hadits yg ingin diketahui maksudnya. dan
cara menakwil ayat itu tidak sembarangan, harus pake kaidah-kaidah  yg berlaku, misal memakai kaidah, bahasa,
logika, sejarah, syariah, fiqh atau 
ushul fiqh, kaidah fiqih dan lain sebagainya.

 

Khusus dalam masalah metafisik (ghoib),
spesifiknya sesuatu yang berkaitan dengan 
Allah, maka ulama Ahlu Sunnah 
cenderung untuk menposisikan  hal
tersebut apa adanya (tafwidh), menghindari takwil, karena dengan meyikini
lapadz atau keterangan  yang berbau
metafisik dan teologis   lebih aman dan
lebih maslahat, karena ijtihad manusia untuk mencoba menerobos dimenasi ghaib
tersebut terbatas dan hanya bersifat spekulasi akal yang tidak ada jaminan
kebenarnnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *